08 Oktober 2008

Dibalik Cermin Satu Arah

Ketika saya masih kecil, kami tinggal di kota New York, hanya satu blok dari rumah kakek-nenek saya.

Setiap malam, kakek saya selalu melakukan “kewajibannya,” dan di setiap musim panas, saya selalu ikut dengannya.

Pada suatu malam, ketika Grandpa (kakek) dan saya sedang jalan kaki bersama, saya menanyakan apa bedanya keadaan sekarang dengan dulu, ketika dia masih kecil di tahun 1964. Grandpa bercerita tentang jamban-jamban di luar rumah, bukan toilet mengkilap, kuda- kuda, bukan mobil, surat-surat, bukan telepon, dan lilin-lilin, bukan lampu-lampu listrik.

Sementara dia menceritakan semua hal-hal indah yang sama sekali tidak pernah terbayang di kepala saya, hati kecil saya mulai penasaran.
Lalu saya tanyakan kepadanya,”Grandpa, apa hal paling susah yang pernah terjadi dalam hidupmu?”

Grandpa berhenti melangkah, memandang cakrawala, dan membisu beberapa saat.
Lalu dia berlutut, menggenggam tangan saya, dan dengan air mata berlinang dia mengatakan: “Ketika ibumu dan adik-adiknya masih kecil-kecil, Grandma (nenek) sakit parah dan untuk bisa sembuh, dia harus di rawat di satu tempat yang namanya sanatorium, untuk waktu yang lama sekali.
Tidak ada orang yang bisa merawat ibu dan paman-pamanmu kalau aku sedang pergi kerja, jadi mereka kutitipkan di panti asuhan.
Para biarawati yang membantuku mengurusi mereka, sementara aku harus melakukan dua atau tiga pekerjaan untuk bisa mengumpulkan uang, agar Grandma bisa sembuh dan semua orang bisa berkumpul lagi di rumah.”

“Yang paling sulit dalam hidupku adalah, aku harus menaruh mereka di panti asuhan.
Setiap minggu aku mengunjungi mereka, tetapi para biarawati itu tidak pernah mengijinkan aku mengobrol dengan mereka, atau memeluk mereka.
Aku hanya bisa memperhatikan mereka bermain dari balik sebuah cermin satu arah.
Aku selalu membawakan permen setiap minggu, berharap mereka tahu itu pemberianku.
Aku hanya bisa menaruh kedua tanganku di atas cermin itu selama tiga puluh menit penuh, waktu yang mereka ijinkan untuk aku melihat anak- anakku, berharap mereka akan datang dan menyentuh tanganku. ”

“Satu tahun penuh kulalui tanpa menyentuh anak-anakku. Aku sangat merindukan mereka.
Tetapi aku juga tahu bahwa itulah tahun yang lebih sulit lagi bagi mereka.
Aku tidak pernah bisa memaafkan diriku sendiri karena tidak bisa memaksa biarawati itu mengijinkan aku memeluk anak-anakku.
Tetapi kata mereka, kalau diijinkan, itu malah akan lebih memperburuk keadaan, bukan memperbaikinya, dan mereka akan menjadi lebih sulit tinggal di panti asuhan itu.
Jadi aku menurut saja.”

Saya tidak pernah melihat Grandpa menangis.
Dia memeluk saya erat-erat dan saya katakan kepadanya bahwa saya memiliki Grandpa terbaik di seluruh dunia dan saya sangat menyayanginya.

Lima belas tahun berlalu, dan saya tidak pernah menceritakan acara jalan-jalan istimewa dengan Grandpa itu kepada siapapun.
Dari tahun ke tahun kami tetap rajin jalan-jalan, sampai keluarga saya dan kakek-nenek saya pindah ke negara bagian yang berbeda.

Setelah nenek saya meninggal dunia, kakek saya mengalami penurunan ingatan dan saya yakin itulah periode penuh tekanan baginya.
Saya memohon kepada ibu saya untuk memperbolehkan Grandpa tinggal bersama kami, tetapi ibu saya menolaknya.

Saya terus merengek, “Ini kan sudah kewajiban kita sebagai keluarga untuk memikirkan apa yang terbaik baginya.”
Dengan sedikit marah, ibu membentak, “Kenapa? Dia sendiri sama sekali tidak pernah perduli pada apa yang terjadi terhadap kami, anak-anaknya!”

Saya tahu apa yang ibu maksud. “Dia selalu memperhatikan dan menyayangi kalian,” kata saya.
Ibu saya menjawab,” Kau tidak mengerti apa yang kau bicarakan!”

“Hal tersulit baginya adalah harus menaruh ibu dan paman Eddie dan paman Kevin di panti asuhan.”
“Siapa yang cerita begitu padamu?” tanyanya.
Ibu saya sama sekali tidak pernah membicarakan masa-masa itu kepada kami.

“Mom, dia selalu datang ke tempat itu setiap minggu untuk mengunjungi anak-anaknya.
Dia selalu memperhatikan kalian bermain dari belakang cermin satu arah itu.
Dia selalu membawakan permen setiap kali dia datang.
Dia tidak pernah absen setiap minggu.
Dia benci tidak bisa memeluk kalian selama satu tahun itu!”

“Kau bohong! Dia tidak pernah datang. Tidak pernah ada yang datang menjenguk kami.”

“Lalu bagaimana aku bisa tahu soal kunjungan itu kalau bukan dia yang cerita ?
Bagaimana aku bisa tahu oleh-oleh yang dibawanya?
Dia benar-benar datang. Dia selalu datang.
Para biarawati itulah yang tidak pernah mengijinkan dia menemui kalian, karena kata mereka, akan terlalu sulit bagi anak-anak kalau melihat ayahnya sudah harus pergi lagi.
Mom, Grandpa menyayangimu, dan selalu begitu!”

Grandpa selalu beranggapan anak-anaknya tahu dia berdiri dibalik cermin satu arah itu, tetapi karena mereka tidak pernah merasakan kehangatan dan kekuatan pelukannya, dia pikir mereka telah melupakan kunjungan-kunjungannya.
Sementara, ibu saya dan adik- adiknya beranggapan dia tidak pernah datang mengunjungi mereka.

Setelah saya menceritakan kebenaran itu kepada ibu saya, hubungannya dengan Grandpa mulai berubah.
Dia menyadari bahwa ayahnya selalu menyayanginya, dan akhirnya Grandpa tinggal bersama kami sampai akhir hidupnya.
(Laura Reilly)

Build me a son, O Lord,
who will be strong enough to know when he is weak,
and brave enough to face himself when he is afraid,
one who will be proud and unbending in honest defeat,
and humble and gentle in victory.
(General Douglas MacArthur)

Sumber: Behind the Mirror by Laura Reilly,
Chicken Soup for the Grandparent’s Soul: 101 Stories to Open the Hearts and Rekindle the Spirits of Grandparents

0 comments:

Posting Komentar

~*~ Maaf, Untuk ngejaga supaya tetep aman komentar anda sebelumnya akan di moderasi dulu, so nggak akan langsung muncul, haturnuhun kangge perhatosannana,...